Palembang, Swatani.id
Kementerian Pertanian melalui Badan Karantina Pertanian (Barantan) melakukan pengetatan pengawasan daging sebagai antisipasi terhadap peningkatan kebutuhan akan daging selama bulan puasa ramadan dan jelang hari raya Idulfitri tahun 2021.
Dari data penegakan hukum di Karantina Pertanian Lampung menyebutkan bahwa penurunan tren terhadap penangkapan daging celeng ilegal selama kurun waktu tiga tahun terakhir. Masing-masing tahun 2019 sebanyak 12,9 ton, 2020 sebanyak 11,2 ton dan sejak Januari hingga April 2021 sebanyak 1 ton saja.
“Peredaran daging celeng tidak bisa mencegah, tapi harus kita atur dan awasi, sehingga tidak menimbulkan keresahan, tugas kita bersama,” tutur Kepala Barantan, Ali Jamil saat koordinasi koordinasi koordinasi terkait tata cara lalu lintas daging hutan asal Sumatera Selatan, Sabtu ( 8/5).
Menurutnya, lalulintas daging celeng ini tidak dapat dihindarkan mengingat adanya supply dan demand. Jamil mengatakan yang bisa pemerintah melakukan pembantuan lalulintasnya sehingga memberikan ketenangan bagi masyarakat yang tidak mengonsumsinya.
Bengkulu, Prabumulih dan Banyuasin is some daerah penghasil daging celeng terbesar. Hal tersebut karena di daerah tersebut, celeng menjadi hama bagi petani dan sasaran empuk bagi para pemburu atau penembak.
Sementara permintaan daging celeng datang dari Jakarta, Tangerang dan Pangkalpinang. Dari data yang ada, daging tersebut digunakan untuk pakan hewan, seperti di Kebun Binatang Ragunan dan konsumsi. “Permasalahannya adalah kalau ini dioplos, kesalahan kesalahan kita, kesalahan” jelas Jamil.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Palembang, Sayuti menyebutkan bahwa pemerintah daerah melarang rumah potong hewan termasuk daging celeng ditengah kota. Untuk itu pihaknya terus melakukan koordinasi dan sosialisasi kepada pelaku usaha.
Sayuti menyebutkan bahwa selaku daerah asal daging celeng sangat antusias dalam membantu penyelesaian permasalahan peredaran daging celeng.
Tri Guntoro, dari Balai Penelitian Veteriner, Lampung memberi tahu bahwa pihaknya merupakan laboratorium penguji yang saat ini masih dalam proses akreditasi untuk pengujian Africa Swine Fever (ASF) atau penyakit demam babi afrika.
Tri juga menyebutkan bahwa setelah ASF muncul ditahun 2016 di Sumatera Utara, Balitvet melakukan peningkatan pengawasan dan pemantauan dan produk asal babi dalam kemasan yang teridentifikasi ASF, walau belum dapat diketahui atau negatif.
Demikian juga adanya peningkatan kematian pada hewan ini dengan dugaan ASF. “Untuk itu kami membangun untuk meningkatkan penggunaan fasilitas check poin secara bersama, ininbisa mengancam potensi wabah,” kata Tri.
Sinergisitas Pengawasan Lalu Lintas Daging Celeng
Secara teknis, Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Barantan, Agus Sunanto yang turut hadir mendampingi Kepala Barantan menjelaskan bahwa operasional pengawasan di dalam Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen PKH Kementan, Barantan juga membentuk tim kolaborasi intelejen yang terdiri dari Unit Pelaksana Teknis Karantina Pertanian masing-masing di Cilegon, Lampung, Jambi, Padang, Bengkulu dan Belawan.
“Sinergitas yang baik, komoditas yang juga merupakan anugerah Tuhan ini dapat memberikan nilai tambah, selain bahan pakan satwa, dapat digunakan untuk kelompok masyarakat tertentu seperti di Morowali, Ternate dan lainnya bahkan ekspor,” kata Agus.
Salah satu inovasi dan solusi yang digagas Barantan bersama instansi terkait di daerah menggunakan penggunaan Quarantine Tracker. Alat yang berbasis pemindai lokasi atau Global Positioning System (GPS) dipasang dalam segel di kontainer atau mobil pengangkut daging celeng, untuk keperluan pengawasan.
“Dengan populasi yang cukup banyak, maka daging celeng ini dapat dijadikan komoditas yang bernilai tambah dengan pengawasan. Selain untuk konsumsi satwa, juga masyarakat khusus serta ekspor, pasarnya ada,” tutup Jamil.
