Jakarta, Swatani.id
Walau bukan petani tulen, mantan Gubernur Sulawesi Selatan ini seakan tak pernah diam. Otak kanannya selalu bekerja memajukan pertanian. Salah satunya “kampanye” regenerasi petani millenial.
Ada hal baru sejak Syahrul Yasin Limpo didaulat jadi Menteri Pertanian. Ia tak ingin menjadikan petani di negeri ini diisi paruh bayah, sambil menenteng pacul ke ladang maupun sawah.
Sesuai potret kekinian, SYL – begitu sapaan akrabnya, ingin gambaran petani diisi anak-anak muda. Mereka mau menggunakan sepatu boot, turun menginjak lumpur, berjemur dengan teriknya matahari.
Luhatlah istilah yang digulirkan oleh Kementan saat ini. Ada Duta Petani Milenial (DPM) maupun Duta Petani Andalan (DPA).
Jumlah mereka saat ini mencapai 67
DPM dan DPA, berasal dari sejumlah provinsi. Haulnya, tak lain agar terjadi regenerasi petani.
Cuma, lantaran pandem Covid 19, Mentan tidak langsung melihat mereka, kecuali lwat virtual, sesuai dengan era pandemi saat ini: tidak berkerumun dan menjaga jarak.
Meski corona, sektor pertanian semakin dibutuhkan, semakin urgen dalam memenuhi kebutuhan pangan.
“Semakin panjang COVID-19 ini berlangsung, semakin banyak orang membutuhkan pertanian. Pertanian seperti apa yang dibutuhkan, pertanian yang efektif, efisien dan transparan. Hal itu bisa dilakukan melalui petani milenial, yang modern,” kata Syahrul di Agriculture War Room Kantor Pusat Kementan, Jakarta, Senin.
Menurut Mentan, DPM dan DPA, yang terdiri atas 59 DPM, yaitu petani berusia antara 19-39 tahun dan 8 DPA yaitu petani yang berusia di atas 39 tahun.
Duta petani tersebut berasal dari berbagai aspek komoditas, seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan hingga hortikultura.
Bahkan, ada juga penyuluh pertanian yang mendampingi petani serta mentransfer inovasi dan teknologi informasi pertanian sehingga berhasil mencetak petani-petani sukses.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Dedi Nursyamsi menjelaskan pengukuhan ini bertujuan mempercepat regenerasi petani dengan meningkatkan peran generasi muda pertanian dalam mengembangkan dan memajukan sektor pertanian agar lebih prospektif dan berpeluang ekspor.
Makanya, dia menilai perlu petani-petani muda yang dapat memberikan kontribusi dalam gerakan pembaharuan pembangunan pertanian.
“Duta-duta ini diharapkan mampu menarik generasi milenial lainnya untuk ikut berwirausaha pertanian. Selain itu, mampu mempercepat advokasi kepada masyarakat terutama berkaitan dengan program-program Kementerian Pertanian sehingga program tersebut dapat dilaksanakan dengan cepat di lapangan,” kata Dedi.
Dalam situasi di tengah wabah COVID-19 ini, lanjut Dedi, pertanian merupakan garda terdepan pencegahan infeksi itu, lantaran berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat untuk menjaga imunitas tubuh.
“Dalam masa COVID-19 ini banyak peluang yang bisa dimanfaatkan oleh pengusaha pertanian milenial khususnya di bidang produksi on-farm seperti sayuran segar, buah-buahan, susu, telur, kacang-kacangan, yang merupakan penyedia vitamin dan protein untuk meningkatkan daya tahan tubuh,” kata dia.
Pada kesempatan ini, juga ditetapkan kepengurusan Forum DPM dan DPA serta koordinator provinsi yang diketuai oleh Sandi Octa Susila.
Sandi, DPM yang dinobatkan pada tahun 2019 oleh Menteri Pertanian pada acara Jambore Milenial di Cibodas, Jawa Barat sekaligus sebagai Direktur Utama Pengelola Sub Terminal Agribisnis (STA) Cianjur.
Sandi t berhasil membina 385 petani di wilayah Cianjur, Jabar, dengan 141 produk hasil pertanian.
Bahkan, baru-baru ini Sandi menggagas kerja sama dengan Kedai Sayur Indonesia untuk mendistribusikan hasil pertanian di daerah Cianjur melalui aplikasi e-commerce dan memberdayakan lima ribu pedagang sayur di wilayah Cianjur da Rpn saat ini tengah dikembangkan hingga Jabodetabek.
Potret Sandi sebagai petani millenial ini, seperti dihadapkan oleh SYL, harus mau dan berani menjadi petani atau mendirikan perusahaan rintisan (startup) di bidang pertanian.
“Jadi kalau kita mau membenahi, menurut saya, selain ekonomi juga membuka lapangan kerja yang pasti,” kata Mentan pada kegiatan 100 hari kinerja Menteri Pertanian dengan mengusung tema membangun sinergi untuk pertanian maju, mandiri dan modern di Jakarta, Jumat.
Umpamanya, jika seseorang membuka usaha tambang, setidaknya butuh waktu 10 hingga 20 tahun baru memiliki hasil. Begitu juga dengan usaha industri bisa memakan waktu minimal lima atau enam tahun.
Namun, jika milenial mau bertani dengan cara yang maju dan inovatif, termasuk mendirikan perusahaan rintisan di bidang pertanian, bisa menghasilkan uang dalam waktu singkat.
“Kalau kau bertani, hari ini kau tanam maka tunggu 100 hari pasti ada hasilnya,” ujar dia.
Contoh lain, kata dia, salah satu perusahaan rintisan berbasis pertanian di Pangalengan, Jawa Barat, yang bisa menghasilkan Rp200 juta per bulan.
Menurutnya, salah satu kekhawatiran atau keengganan milenial untuk bertani ialah anggapan harus bersentuhan dengan lumpur dan semacamnya. Padahal, dengan kemajuan zaman saat ini beragam teknologi bisa dimanfaatkan untuk mempermudah pekerjaan.
Makanya, pemerintah melalui kementerian terkait akan terus mendorong generasi milenial agar mau membuka usaha rintisan di bidang pertanian yang memanfaatkan teknologi.
“Ini sekaligus bagaimana pemerintah mendeteksi apa saja yang dibutuhkan generasi milenial apabila mendirikan perusahaan rintisan dengan beragam pendekatan,” katanya.
SYL mengajak anak millenial membuka wawasan yang lebih luas dalam memajukan perekonomian, khususnya bidang pertanian.
Inilah yang digadang-gadang oleh SYL. Siapa tahu, lewat generasi millenial, siapa tahu akan lahir Jimmy Carter, presiden Paman Sam yang dibesarkan dari keluarga Petani Kacang. (***)