Bandung, Swatani.id
Para relawan dan petani berbiosaka terus berupaya membuat Biosaka secara berkualitas sebagai Elisitor untuk meningkatkan performa tanaman. Elisitor Biosaka mampu berproduksi lebih baik, serta menekan biaya produksi.
Elisitor Biosaka sendiri merupakan inovasi yang lahir dari petani dan menjadi komoditas viral di kalangan petani Indonesia. Dengan bahan dasar pembuat yang mudah didapat, yakni dari rerumputan dan dedaunan di sekitar, Elisitor Biosaka dengan cepat menjadi inovasi yang menyebar dari satu petani ke petani lainnya.
Di bawah bimbingan Prof. Robert Manurung, guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB), mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Azkia Fathimah dan Imelda Magnalena meneliti bagaimana pengaruh Elisitor Biosaka pada tanaman melon di Kabupaten Biltar.
Prof. Robert Manurung menjelaskan bagaimana elisitor Biosaka berpengaruh nyata pada pengukuran parameter tinggi tanaman, jumlah daun, diameter buah, umur panen, berat buah, susut bobot buah hingga volume atau berat biomassa akar yang jauh lebih besar dibandingkan tanpa perlakuan biosaka. Ini membuktikan bahwa Elisitor Biosaka memberikan respon positif terhadap pertumbuhan tanaman dalam merespon lingkungan.
“Dengan Biosaka, hasil bobot panen lebih tinggi sehingga dimungkinkan memperbanyak produksi, tapi yang utama menaikkan kualitas dan mengurangi biaya produksi secara signifikan.Selain itu, pengurangan input eksternal sintetik akan meningkatkan kesehatan tanah,” terang Prof. Manurung, Jakarta, Minggu (18/6/2023).
Kajian tentang Biosaka juga mengemuka pada kegiatan Focus Group Discussion (FGD) di Bogor, Kamis (15/6/2023). Diskusi ini dihadiri para pakar dan pengamat pertanian yakni Direktur Serelia, Direktur Perbenihan, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Negeri Solo (UNS), Prof. Samhudi, Prof. Pantjar Simatupang, Prof. Hasil Sembiring, Prof. Bustanul Arifin, Prof. Rachmat Pambudy, Prof. Aris Purwanto, Prof. Rizaldi Boer, Prof Satriyas Ilyas, Dr. Syarkawi Rauf dan Ir. Entang Sastraatmadja.
Prof. Hasil Sembiring menyatakan penelitian yang dilakukan ITB menjadi tambahan informasi yang bagus tentang Biosaka. Kajian-kajian terukur tentang Biosaka dengan menggunakan pendekatan rancangan ilmiah (experimental design).
“Untuk melihat pengaruhnya harus diperbanyak untuk memberikan kesimpulan yang solid tentang kegunaan biosaka pada tanaman,” katanya.
Sementara itu, Prof. Pantjar menyatakan Prof Manurung memberikan penjelasan ilmiah bahwa Biosaka berbeda dari teknologi konvensional, filsafat ilmunya berbeda. Pembuatan Biosaka dipengaruhi oleh suasana hati dan niat atau spiritualitas, sementara teknologi konvensional tidak memperhatikan aspek spiritual.
”Landasan ilmiah Biosaka itu disebut Biology of Belief, pemikiran baru sehingga wajar kalau masyarakat luas masih meminta penjelasan ilmiah maupun teknis. Saya berharap jangan sampai Biosaka menjadi seperti fenomena sesaat saja, kalo bagus akan terus digunakan,” terangnya.
Terpisah, Anshar, Penggagas Biosaka menuturkan elisitor Biosaka sangat terbuka untuk pengujian-pengujian empiris. Namun fakta di lapangan yang dirasakan petani setelah memanfaatkan Biosaka tentu tidak dapat dikesampingkan.
“Ribuan petani sudah merasakan manfaatnya. Beberapa pengujian atau penelitian pun telah dilakukan untuk membuktikan pengaruh Biosaka pada pertumbuhan tanaman,” ucap Anshar, petani asal Blitar.
*Langkah Hadapi El Nino*
Tak hanya itu, pada pertemuan yang sama dibahas pula tentang langkah-langkah menghadapi El-Nino 2023. Prof. Rizaldi Boer menyatakan bahwa fenomena El-Nino saat ini sudah terjadi dan akan meningkatkan ancaman kekeringan sangat tinggi di periode bulan Juni – Oktober pada wilayah sentra produksi padi.
“Namun merujuk CCROM 2023, dengan memperhatikan fenomena ENSO dan IOD saat ini, siklus El Nino akan melemah mulai bulan November dan akan kembali normal pada bulan Desember,” sebutnya.
Direktur Serealia Kementan, Ismail Wahab menjelaskan mitigasi wilayah rawan kekeringan pada periode Juni-Oktober 2023 dilakukan dengan mendorong percepatan tanam, penggunaan varietas super genjah dan toleran kekeringan, serta memastikan ketersediaan air melalui pompanisasi, embung dan biostorage. Kementan juga mendorong agar wilayah sawah di lahan rawa dapat segera ditanami.
”Saat El Nino biasanya muka air rawa cenderung menurun, sehingga akan bisa ditanami padi,” tutur Ismail.