Jakarta, Swatani.id
Pro kontra UU Cipta Kerja masih terus mengemuka. Satu sisi UU ini mampu meningkatkan kesejahteraan buruh, lentaran adanya arus investasi.
Di sisi lain sebaliknya. UU yang disahkan malam hari itu banyak mengkebiri hak-hak buruh, dari mulai PHK tanpa pesangon sampai ditiadakannya hak cuti. Makanya penolakan terhadap UU yang disebut “Sapujagad” ini disambut demo besar-besaran di seluruh Tanah Air.
Tapi betulkah UU itu membawa efek negatif di semua lini aspek berbangsa? Galuh Octania, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) memberi dampak positif bagi pertanian, termasuk menstabilkan harga, dan jumlah pangan hortikultura.
“UU Cipta Kerja merelaksasi regulasi impor produk hortikultura dan hal ini diharapkan dapat membantu menstabilkan harga dan menjamin pasokan komoditas pangan di pasar,” katanya pada Sabtu, 10 Oktober 2020, seperti ditulis Antara.
Dia berharap relaksasi tersebut agar disikapi secara positif, karena UU Cipta Kerja membebaskan penting untuk beberapa proses produksi yang penting di rantai pasokan subsektor hortikultura
Begitupun benih unggul, dan sarana pendukung kegiatan hortikultura.
Kendati direlaksasi, Galuh penilaian pemerintah tetap harus memastikan adanya proses transfer teknologi, dan membagi praktik lewat usia tersebut.
“Pemerintah juga menyederhanakan proses perizinan,” tambahnya.
Diketahui sebelumnya dari perizinan berada di bawah berbagai kementerian dan lembaga teknis, namun kini pemerintah dilaporkan berada di bawah pihak pihak pusat.
Peneliti CIPS itu juga menyatakan bahwa unit usaha hortikultura menengah, dan besar tidak lagi membutuhkan Hak Guna Usaha (HGU) untuk menggunakan lahan negara.
Lebih lanjut, ia pun menarik perhatian, jika pengawasan tersebut tidak berjalan maka akan muncul masalah baru.
“Namun hal ini harus mengikuti pengawasan bahwa penggunaan penggunaan harus sesuai dengan peruntukan dan perizinan awalnya, memperhatikan pengawasan regulasi lingkungan. Kalau pengawasan tidak berjalan, dikhawatirkan akan muncul masalah baru,” tuturnya.
Kepala Pusat Penelitian CIPS Felippa Ann Amanta mengatakan pihaknya menginginkan dirumuskannya kebijakan yang tepat guna mengantisipasi, dan harga pangan menjelang akhir tahun 2020.
“Walaupun harga beras cenderung stabil, antisipasi stok dan harga perlu dilakukan hingga akhir tahun. Belum lagi karena musim tanam kemarau biasanya hanya menghasilkan lebih sedikit,” tutur Kepala Pusat Penelitian CIPS.
Menurutnya, kebijakan antisipasi tersebut juga perlu dicapai, dan Tahun Baru yang akan datang. Dia memprediksikan permintaan beras akan terus meningkat.
“Pergerakan harga sebagai parameter yang dapat menentukan pangan di pasar terus dipantau untuk menjaga daya beli masyarakat,” tambahnya
Dia menilai bahwa untuk solusi jangka panjang, koordinasi antarpihak yang terkait harus dilangsungkan.
Hal tersebut guna fenomena kenaikan harga tidak menjadi kejadian yang akan selalu berulang dari tiap tahunnya.